Photobucket

Sahabat Maya :

Wednesday, July 14, 2010

Apa Yang Tertinggal............





Yang ditinggalkan lelaki itu




HANYA sekali saja,

kami sempat melihat kelibat pengembara itu

- beberapa hari setelah dia pulang

- dan waktu itu, kerana tidak pernah tahu

ke mana ia berpergian,

maka kami menyebutnya:

“Pulang... entah dari mana.”

Wajahnya ketika itu nampak amat letih;

pelupuk matanya sedikit lebam

- bajunya keruh dan compang

- satu petanda, betapa jauhnya,

dia sudah berjalan.

Kami takkan lupa

akan sifat dan sikapnya waktu itu;

perawakan yang akan kami kenang

sampai bila-bila.

Kami takkan lupa

pada sepasang mata bundarnya yang lesu;

serta tubuh susutnya yang sedikit

terhoyong-hayang

waktu berjalan.

Malah,

ketika susuk tubuhnya

yang kurus jangkung itu,

melangkaui semak denai

yang dilitupi lalang melepasi pinggang,

nampaklah kami akan keadaan kakinya;

sepatunya dilumuri debu -uzur dan rabak.

Tanpa sarung kaki,

seluarnya yang tersinting itu

menampakkan buku lali yang lebam

- seakan-akan kematu

- satu lagi gambaran,

betapa jauhnya dia sudah berjalan.

Juga buat kami percaya,

semua itu tanda

akan betapa lamanya dia

bergelumang dalam

putaran masa.

“Barangkali...

dia banyak duduk bersimpuh...

lalu buku lalinya jadi lebam,”

kata seseorang.

“Ya...

tanda apa yang masa sudah

lakukan pada lelaki ini?”

Kata seseorang yang lain

Akhirnya,

tatkala matahari sudah condong

agak jauh di pelipis langit,

dan kami tahu asar sudah menunda pergi

- dia pun muncul berdekatan

pohon berembang tua.

Pohon yang membangka;

bogel di musim kering.

Berembang tua,

nan satu-satunya yang mewakili

masa lalu kampung kami.

Kulit pada batangnya yang tinggi

mendongak itu sudah teruk menggelupas

- dan ranting-rantingnya pula kurus melidi.

Desir angin sejak berbulan-bulan yang lalu,

menelanjang pohon ini;

melarikan pergi daun-daunnya,

dan sifat ketuaan menjadikan

berembang ini tak mampu berdaun lagi.

Kami akan selalu ingat,

keadaan pohon itu, pada saat itu.

Tiap kali terlihat pada keuzuran pohon ini;

terutama dahan-dahannya

yang terkulai patah serta rantingnya

yang jatuh bertebaran di tanah

- kami segera terfikir:

“Lelaki yang singgah ini,

sama sengsara dengan

berembang kami.”

“Berapa umur pokok ini?”

Tanya seorang budak.

“Barangkali kali

moyang kepada moyang kamu

yang menanamnya...”

jawab seorang tua.

Dalam keasyikkan

membeza-bezakan manusia dan alamnya,

kami tiba-tiba menjadi sedikit cemas.

Kami yang termanggu dan menunggu,

melatah perlahan;

saling mengaduh.

“Hati-hati!”

Jerit seorang gadis yang meluru ke depan;

dia terhenti separuh langkah

- kerudungnya diseka angin dan

nampaklah rambutnya yang hitam bergerai itu

- dia berundur dan kelihatan

tunduk tanda malu.

Kami akan selalu ingat saat itu

- saat kami tergamam

melihat lelaki itu hampir tergelincir;

dek kakinya tersandung akar berembang

yang terbonjol di muka tanah.






2

“SEPERTI sungai membelah bumi,”

kata lelaki itu

sambil jari telunjuk tangan kanan

lalu dilintangkan ke kiri.

Kami terkedu,

dan dia diam sebentar;

tunak matanya meluru lembut

menembusi pandangan kami semua.

Si gadis menarik sedikit kerudungnya

yang melorot ke bahu,

nampak dia melisah dan gugup,

tatkala renungan lelaki itu

melintas pada wajahnya.

“Mula-mula aku merasa

seperti melihat sungai

yang benar-benar sungai,

tetapi kemudiannya aku tersedar,

ia bukan pun sungai,”

katanya lagi.

Kami terus terpegun

mendengar kata demi kata;

terpana dalam lara bak mendengar

suara burung yang berdendang

dari taman syurga.

Lelaki itu tiba-tiba keluar

dari dunia lelahnya;

suaranya tiba-tiba jadi bertenaga

tatkala dia bercerita

walhal sungai nan sebatang itu.

“Aku duduk di atas lantai kaca,

atau barangkali di atas

permaidani telus yang tercipta

dari cairan kristal.

Dari angkasa nun jauh di sana,”

katanya sambil memandang ke langit,

“Aku nampak negerimu

- dan akhirnya aku pasti

yang kulihat bukanlah sungai,

tetapi hanyalah gambaran aneh

yang membimbangkan!”

Langit merah tembaga;

matahari menyongsong jatuh di balik awan

tetapi masih berjengkal-jengkal jauh

dari kaki ufuk.

Bagi kami semua,

dalam panjang lebar cerita pengembaraannya,

perihal sungai inilah paling mempesona.

Kerana, dalam siri ceritanya yang panjang

dan

menakjubkan, hanya sungai inilah

yang kami rasakan paling berharga,

paling bermakna.

“Ini cerita kampung kita,” kata si tua.

“Ya...

kampung yang wujud sejak

zaman moyang kepada moyang

kepada moyang kita,” tambah si budak.

Tanah yang nampak hitam

dari muka angkasa itu, kata lelaki ini

- tampak berbalam-balam pada mulanya.

Malah dia langsung tak menyangka,

bayangan tanah yang terselindung

di balik awan pada satu saat,

tiba-tiba terlihat

bergerak-gerak.

“Lalu akhirnya.....

aku nampak sebahagian

dari kampung itu merekah-rekah,

lalu memancur tinggi debu-debu

yang membuak-buak hingga lintasannya

membentuk satu garisan.

Makin lama makin besar,

hingga akhirnya aku yakin

yang terlihat bukanlah pancuran

asap atau debu,

yang melintang membelah tanah ini

bukanlah sungai.”

Saat itu dia diam, agak lama juga.







3

HANYA sekali itulah saja,

kami sempat melihatnya.

Apapun

- dek terpana akan ceritanya

- perihal pengembaraannya selama

44 bulan menjelajah angkasa;

atau

sebenarnya kami jadi amat terseru

pada segala macam pengalaman

yang ditempuhnya sepanjang perjalanan

merentas benua ke benua itu,

wajah dan kata-katanya

selalu ada di fikiran.

Dia menjelajah angkasa;

kami percaya begitu.

Tetapi demi Allah,

kami tidak pernah menyamakan

pengembaraan itu dengan

Israk Mikraj.

Malah kami bersetuju,

selama mana pun kami mahu

menyimpan kenangan

terhadap pertemuan dengan pengembara itu,

kami sepakat untuk tidak

melebih-lebihkannya melampaui hukum agama;

malah kami juga tidak akan

membanding-bandingkan kisah ini

dengan apa jua

bentuk cerita yang lain.

“Dia hanya pengembara......

ingat!

Jangan sesekali disamakan dengan apa-apa;

tidak juga menyamai Batuta atau Khaldun

- tidak juga Magellan dan Columbus!”

Itu peringatan yang kami pegang,

kata seseorang

di antara kami juga.






4

KAMPUNG kami dipugar

oleh moyang kepada

moyang kepada moyang kami

- atau lebih lama dari itu.

Kata orang,

sejak zaman bermoyang-poyang lagi,

kampung kami yang nun terletak

antara lembah pergunungan di balik belukar

dan belitan paya nan luas ini,

tidak pernah dikunjungi orang;

tak pernah bertamu,

tak pernah ditandang.

Kampung kami,

jaraknya tidaklah jauh

untuk menuju ke kota;

hanya menyusur selokan lembah

yang ditumbuhi rumput hijau

dan

sesekali ditembungi padang lalang

nan saujana

- meredah hutan menuruni lembah

yang dipenuhi pohon keruing dan kemuning

- dan akhir sekali,

tentulah meredah paya bakau

dengan selut separas lutut dan berair

separas dada di musim tengkujuh

- maka sampailah ke simpang kota.

Selalu, hampir setiap minggu

- ada saja di antara penduduk

yang meredah semua persekitaran ini

lalu menuju ke kota;

menempuh perjalanan pergi balik sekitar tiga hari

- mencari segala macam keperluan harian.

Cuma tujuh atau lapan bulan lalu,

ketika ditanya orang di kota

- seorang tua di kalangan kami pun

segera bercerita:

“Tidaklah besar kampung kami.....

tidaklah pula ramai penduduknya .

Kalau saudara berjalan-jalan anak,

dari kepala jalan menuju ke hujung kampung,

selesailah langkah dalam separuh hari.

Jumlah penduduknya pula,

kalau kami berkenduri,

tak cukuplah berjamu

kalau sekadar sepuluh ekor

kerbau.”

Dek cerita itu,

seminggu kemudian,

datanglah sejumlah orang.

Kata si budak,

kasihan benar dia melihat,

akan sejumlah orang itu

tatkala mereka tiba di muka kampung.

Dek paya banat yang dipenuhi

lumpur dan selut,

maka separas pingganglah kotor jadinya

akan pakaian sejumlah orang itu.

“Dek hutan yang dipenuhi duri jalar rotan,

maka bercalar-calarlah wajah semua orang,

dan dek lembah yang curam,

maka terhegeh-hegehlah nafas,”

cerita si budak dengan rasa lucu

yang menggeletek.

Sejak itu,

si budak dan kami semua

sering melihat sejumlah orang itu

dan

sejumlah orang lain

masuk keluar ke kampung.

Dua jumlah manusia

yang datang silih berganti

pada dua silang masa yang berbeza.

Dua jumlah manusia

yang tak pernah bertentang mata

sesama mereka.

“Akan kami bawa semua

yang dicari di kota ke kampung,”

kata seseorang dari kumpulan pertama.

Seseorang dari sejumlah orang yang lain

pula berjanji:

“Pilihlah wakil kami,

anda tak perlu menuruni gunung,

meredah hutan dan berselut paya.”

Kami tak begitu mengerti apa-apa;

tetapi sejak itu,

di kampung kami,

tiap tetamu baru itu ada pengikutnya.

Kalau datang saja sejumlah orang itu,

maka adalah sejumlah penduduk kampung

bersama mereka.

Sesuai dengan pekerti kami,

dek kerana tamu itu

dua kumpulan jumlahnya,

maka

kami yang menyambut mereka,

pun harus berpecah dua juga.

Sejak sibuk dengan tetamu kota itu,

serta sibuk mendengar

begitu banyak rencana dan harapan mereka;

maka kami penduduk

dari sejumlah orang di sini

hampir tidak lagi berkesempatan

ketemu dan bersapa-sapa dengan penduduk

yang melayani sejumlah orang

dari kumpulan sana.

“Hampir aku lupa ya,

siapa orang kita yang berada

di kumpulan sana,” kata seorang

dari penduduk di sini.

Pada satu hari yang lain,

ketika kami berkumpul

melihat orang menumbangkan kerbau

untuk majlis keraian entah untuk siapa

- kami mendengar pula

cakap-cakap orang di sana:

“Aku rasa cukuplah

kalau menjemput orang yang di sini saja,

kerana orang kampung yang di sana,

nampak sibuk sungguh

dengan tamu-tamu mereka!”






5

PENGEMBARA itu sudah lama pergi

- lesap dan melenyap entah ke benua mana pula.

Cuma kami selalu mengenangnya,

sekalipun setelah bertahun-tahun

atau

barangkali lebih lama dari itu

- lelaki bermata bundar dan bertubuh jangkung itu,

usai sudah bercerita

tentang kisah pengembaraannya.

Walhal perjalanannya merentas

langit atau angkasa

atau entah apa.

Cuma yang kami faham,

dia pernah melihat kampung ini

dari atas udara sana

- melihat keadaan kami

yang hidup di lembah antara dua gunung

- dilingkari hutan keruing dan kemuning

serta dilingkari paya berselut paras lutut.

Cuma dari udara,

lelaki itu tidak melihat semua ini

- yang dilihatnya hanyalah

gumulan debu atau asap

atau barangkali pancuran air bak sungai

membelah dua kampung kami.

Seperti katanya:

“Aku melihat tanah ini terbelah dua

- dua kumpulan manusia

di dua tebing berbeza

- dipisahkan jurang yang dalam pula.”

Kami tidaklah begitu faham

akan cakap-cakapnya itu;

tetapi kami terus

memikirkan maksudnya.

Si gadis yang nampak gementar

dan

pudar matanya sejak pemergian lelaki itu,

sering bermenung-menung

di bawah pohon berembang;

dan akhirnya selalu duduk di situ

hingga kami tak pernah tahu

sama ada dia pernah pulang ke rumahnya .

Apa pun, kami yakin,

dialah saksi yang melihat

sejarah tumbangnya

berembang ini.

Si gadis

yang selalu duduk termanggu

sambil sering mengelap mata

dengan kerudungnya itu,

adalah saksi masa;

dia yang melihat satu demi satu,

lesapnya batang,

dahan dan ranting

berembang tua itu

dimamah arakan waktu.

Dan

si tua pula,

kalau-kalau kami ketemunya

melintas kawasan itu,

selalu mengulang-ulang cakapnya:

“Sunyi sungguh kampung ini...

orang yang di sana,

sudah tak mau bertemu

orang yang di sini.”

Si budak yang selalu mengekori kami,

akan segera menokok cakap si tua:

“Moyang kepada moyang kepada moyang kita,

tentu tahu

- mengapa ini semua terjadi.”

“Ya... ya... ya...” kata kami.



2 comments:

  1. dan kugagahi jua membaca puisi panjangmu
    kerana di situ ada hidupku
    yg lelah dan lemah.....

    ReplyDelete
  2. dan ku telah terjelepuk terus ke bawah lalu memberi komen hatta tiada akan ketahuan isi tersirat arakian tersurat sekalipun akan aku gagahi juga komenku di sini walaupun diundang tiada lagi akan tetapi tamatlah kisah komen dariku buat masa ini yang sungguh merapu dan merepek lagi baik makan kerepek...

    ReplyDelete

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...