Yang ditinggalkan lelaki itu
HANYA sekali saja,
kami sempat melihat kelibat pengembara itu
- beberapa hari setelah dia pulang
- dan waktu itu, kerana tidak pernah tahu
ke mana ia berpergian,
maka kami menyebutnya:
“Pulang... entah dari mana.”
Wajahnya ketika itu nampak amat letih;
pelupuk matanya sedikit lebam
- bajunya keruh dan compang
- satu petanda, betapa jauhnya,
dia sudah berjalan.
Kami takkan lupa
akan sifat dan sikapnya waktu itu;
perawakan yang akan kami kenang
sampai bila-bila.
Kami takkan lupa
pada sepasang mata bundarnya yang lesu;
serta tubuh susutnya yang sedikit
terhoyong-hayang
waktu berjalan.
Malah,
ketika susuk tubuhnya
yang kurus jangkung itu,
melangkaui semak denai
yang dilitupi lalang melepasi pinggang,
nampaklah kami akan keadaan kakinya;
sepatunya dilumuri debu -uzur dan rabak.
Tanpa sarung kaki,
seluarnya yang tersinting itu
menampakkan buku lali yang lebam
- seakan-akan kematu
- satu lagi gambaran,
betapa jauhnya dia sudah berjalan.
Juga buat kami percaya,
semua itu tanda
akan betapa lamanya dia
bergelumang dalam
putaran masa.
“Barangkali...
dia banyak duduk bersimpuh...
lalu buku lalinya jadi lebam,”
kata seseorang.
“Ya...
tanda apa yang masa sudah
lakukan pada lelaki ini?”
Kata seseorang yang lain
Akhirnya,
tatkala matahari sudah condong
agak jauh di pelipis langit,
dan kami tahu asar sudah menunda pergi
- dia pun muncul berdekatan
pohon berembang tua.
Pohon yang membangka;
bogel di musim kering.
Berembang tua,
nan satu-satunya yang mewakili
masa lalu kampung kami.
Kulit pada batangnya yang tinggi
mendongak itu sudah teruk menggelupas
- dan ranting-rantingnya pula kurus melidi.
Desir angin sejak berbulan-bulan yang lalu,
menelanjang pohon ini;
melarikan pergi daun-daunnya,
dan sifat ketuaan menjadikan
berembang ini tak mampu berdaun lagi.
Kami akan selalu ingat,
keadaan pohon itu, pada saat itu.
Tiap kali terlihat pada keuzuran pohon ini;
terutama dahan-dahannya
yang terkulai patah serta rantingnya
yang jatuh bertebaran di tanah
- kami segera terfikir:
“Lelaki yang singgah ini,
sama sengsara dengan
berembang kami.”
“Berapa umur pokok ini?”
Tanya seorang budak.
“Barangkali kali
moyang kepada moyang kamu
yang menanamnya...”
jawab seorang tua.
Dalam keasyikkan
membeza-bezakan manusia dan alamnya,
kami tiba-tiba menjadi sedikit cemas.
Kami yang termanggu dan menunggu,
melatah perlahan;
saling mengaduh.
“Hati-hati!”
Jerit seorang gadis yang meluru ke depan;
dia terhenti separuh langkah
- kerudungnya diseka angin dan
nampaklah rambutnya yang hitam bergerai itu
- dia berundur dan kelihatan
tunduk tanda malu.
Kami akan selalu ingat saat itu
- saat kami tergamam
melihat lelaki itu hampir tergelincir;
dek kakinya tersandung akar berembang
yang terbonjol di muka tanah.
2
“SEPERTI sungai membelah bumi,”
kata lelaki itu
sambil jari telunjuk tangan kanan
lalu dilintangkan ke kiri.
Kami terkedu,
dan dia diam sebentar;
tunak matanya meluru lembut
menembusi pandangan kami semua.
Si gadis menarik sedikit kerudungnya
yang melorot ke bahu,
nampak dia melisah dan gugup,
tatkala renungan lelaki itu
melintas pada wajahnya.
“Mula-mula aku merasa
seperti melihat sungai
yang benar-benar sungai,
tetapi kemudiannya aku tersedar,
ia bukan pun sungai,”
katanya lagi.
Kami terus terpegun
mendengar kata demi kata;
terpana dalam lara bak mendengar
suara burung yang berdendang
dari taman syurga.
Lelaki itu tiba-tiba keluar
dari dunia lelahnya;
suaranya tiba-tiba jadi bertenaga
tatkala dia bercerita
walhal sungai nan sebatang itu.
“Aku duduk di atas lantai kaca,
atau barangkali di atas
permaidani telus yang tercipta
dari cairan kristal.
Dari angkasa nun jauh di sana,”
katanya sambil memandang ke langit,
“Aku nampak negerimu
- dan akhirnya aku pasti
yang kulihat bukanlah sungai,
tetapi hanyalah gambaran aneh
yang membimbangkan!”
Langit merah tembaga;
matahari menyongsong jatuh di balik awan
tetapi masih berjengkal-jengkal jauh
dari kaki ufuk.
Bagi kami semua,
dalam panjang lebar cerita pengembaraannya,
perihal sungai inilah paling mempesona.
Kerana, dalam siri ceritanya yang panjang
dan
menakjubkan, hanya sungai inilah
yang kami rasakan paling berharga,
paling bermakna.
“Ini cerita kampung kita,” kata si tua.
“Ya...
kampung yang wujud sejak
zaman moyang kepada moyang
kepada moyang kita,” tambah si budak.
Tanah yang nampak hitam
dari muka angkasa itu, kata lelaki ini
- tampak berbalam-balam pada mulanya.
Malah dia langsung tak menyangka,
bayangan tanah yang terselindung
di balik awan pada satu saat,
tiba-tiba terlihat
bergerak-gerak.
“Lalu akhirnya.....
aku nampak sebahagian
dari kampung itu merekah-rekah,
lalu memancur tinggi debu-debu
yang membuak-buak hingga lintasannya
membentuk satu garisan.
Makin lama makin besar,
hingga akhirnya aku yakin
yang terlihat bukanlah pancuran
asap atau debu,
yang melintang membelah tanah ini
bukanlah sungai.”
Saat itu dia diam, agak lama juga.
3
HANYA sekali itulah saja,
kami sempat melihatnya.
Apapun
- dek terpana akan ceritanya
- perihal pengembaraannya selama
44 bulan menjelajah angkasa;
atau
sebenarnya kami jadi amat terseru
pada segala macam pengalaman
yang ditempuhnya sepanjang perjalanan
merentas benua ke benua itu,
wajah dan kata-katanya
selalu ada di fikiran.
Dia menjelajah angkasa;
kami percaya begitu.
Tetapi demi Allah,
kami tidak pernah menyamakan
pengembaraan itu dengan
Israk Mikraj.
Malah kami bersetuju,
selama mana pun kami mahu
menyimpan kenangan
terhadap pertemuan dengan pengembara itu,
kami sepakat untuk tidak
melebih-lebihkannya melampaui hukum agama;
malah kami juga tidak akan
membanding-bandingkan kisah ini
dengan apa jua
bentuk cerita yang lain.
“Dia hanya pengembara......
ingat!
Jangan sesekali disamakan dengan apa-apa;
tidak juga menyamai Batuta atau Khaldun
- tidak juga Magellan dan Columbus!”
Itu peringatan yang kami pegang,
kata seseorang
di antara kami juga.
4
KAMPUNG kami dipugar
oleh moyang kepada
moyang kepada moyang kami
- atau lebih lama dari itu.
Kata orang,
sejak zaman bermoyang-poyang lagi,
kampung kami yang nun terletak
antara lembah pergunungan di balik belukar
dan belitan paya nan luas ini,
tidak pernah dikunjungi orang;
tak pernah bertamu,
tak pernah ditandang.
Kampung kami,
jaraknya tidaklah jauh
untuk menuju ke kota;
hanya menyusur selokan lembah
yang ditumbuhi rumput hijau
dan
sesekali ditembungi padang lalang
nan saujana
- meredah hutan menuruni lembah
yang dipenuhi pohon keruing dan kemuning
- dan akhir sekali,
tentulah meredah paya bakau
dengan selut separas lutut dan berair
separas dada di musim tengkujuh
- maka sampailah ke simpang kota.
Selalu, hampir setiap minggu
- ada saja di antara penduduk
yang meredah semua persekitaran ini
lalu menuju ke kota;
menempuh perjalanan pergi balik sekitar tiga hari
- mencari segala macam keperluan harian.
Cuma tujuh atau lapan bulan lalu,
ketika ditanya orang di kota
- seorang tua di kalangan kami pun
segera bercerita:
“Tidaklah besar kampung kami.....
tidaklah pula ramai penduduknya .
Kalau saudara berjalan-jalan anak,
dari kepala jalan menuju ke hujung kampung,
selesailah langkah dalam separuh hari.
Jumlah penduduknya pula,
kalau kami berkenduri,
tak cukuplah berjamu
kalau sekadar sepuluh ekor
kerbau.”
Dek cerita itu,
seminggu kemudian,
datanglah sejumlah orang.
Kata si budak,
kasihan benar dia melihat,
akan sejumlah orang itu
tatkala mereka tiba di muka kampung.
Dek paya banat yang dipenuhi
lumpur dan selut,
maka separas pingganglah kotor jadinya
akan pakaian sejumlah orang itu.
“Dek hutan yang dipenuhi duri jalar rotan,
maka bercalar-calarlah wajah semua orang,
dan dek lembah yang curam,
maka terhegeh-hegehlah nafas,”
cerita si budak dengan rasa lucu
yang menggeletek.
Sejak itu,
si budak dan kami semua
sering melihat sejumlah orang itu
dan
sejumlah orang lain
masuk keluar ke kampung.
Dua jumlah manusia
yang datang silih berganti
pada dua silang masa yang berbeza.
Dua jumlah manusia
yang tak pernah bertentang mata
sesama mereka.
“Akan kami bawa semua
yang dicari di kota ke kampung,”
kata seseorang dari kumpulan pertama.
Seseorang dari sejumlah orang yang lain
pula berjanji:
“Pilihlah wakil kami,
anda tak perlu menuruni gunung,
meredah hutan dan berselut paya.”
Kami tak begitu mengerti apa-apa;
tetapi sejak itu,
di kampung kami,
tiap tetamu baru itu ada pengikutnya.
Kalau datang saja sejumlah orang itu,
maka adalah sejumlah penduduk kampung
bersama mereka.
Sesuai dengan pekerti kami,
dek kerana tamu itu
dua kumpulan jumlahnya,
maka
kami yang menyambut mereka,
pun harus berpecah dua juga.
Sejak sibuk dengan tetamu kota itu,
serta sibuk mendengar
begitu banyak rencana dan harapan mereka;
maka kami penduduk
dari sejumlah orang di sini
hampir tidak lagi berkesempatan
ketemu dan bersapa-sapa dengan penduduk
yang melayani sejumlah orang
dari kumpulan sana.
“Hampir aku lupa ya,
siapa orang kita yang berada
di kumpulan sana,” kata seorang
dari penduduk di sini.
Pada satu hari yang lain,
ketika kami berkumpul
melihat orang menumbangkan kerbau
untuk majlis keraian entah untuk siapa
- kami mendengar pula
cakap-cakap orang di sana:
“Aku rasa cukuplah
kalau menjemput orang yang di sini saja,
kerana orang kampung yang di sana,
nampak sibuk sungguh
dengan tamu-tamu mereka!”
5
PENGEMBARA itu sudah lama pergi
- lesap dan melenyap entah ke benua mana pula.
Cuma kami selalu mengenangnya,
sekalipun setelah bertahun-tahun
atau
barangkali lebih lama dari itu
- lelaki bermata bundar dan bertubuh jangkung itu,
usai sudah bercerita
tentang kisah pengembaraannya.
Walhal perjalanannya merentas
langit atau angkasa
atau entah apa.
Cuma yang kami faham,
dia pernah melihat kampung ini
dari atas udara sana
- melihat keadaan kami
yang hidup di lembah antara dua gunung
- dilingkari hutan keruing dan kemuning
serta dilingkari paya berselut paras lutut.
Cuma dari udara,
lelaki itu tidak melihat semua ini
- yang dilihatnya hanyalah
gumulan debu atau asap
atau barangkali pancuran air bak sungai
membelah dua kampung kami.
Seperti katanya:
“Aku melihat tanah ini terbelah dua
- dua kumpulan manusia
di dua tebing berbeza
- dipisahkan jurang yang dalam pula.”
Kami tidaklah begitu faham
akan cakap-cakapnya itu;
tetapi kami terus
memikirkan maksudnya.
Si gadis yang nampak gementar
dan
pudar matanya sejak pemergian lelaki itu,
sering bermenung-menung
di bawah pohon berembang;
dan akhirnya selalu duduk di situ
hingga kami tak pernah tahu
sama ada dia pernah pulang ke rumahnya .
Apa pun, kami yakin,
dialah saksi yang melihat
sejarah tumbangnya
berembang ini.
Si gadis
yang selalu duduk termanggu
sambil sering mengelap mata
dengan kerudungnya itu,
adalah saksi masa;
dia yang melihat satu demi satu,
lesapnya batang,
dahan dan ranting
berembang tua itu
dimamah arakan waktu.
Dan
si tua pula,
kalau-kalau kami ketemunya
melintas kawasan itu,
selalu mengulang-ulang cakapnya:
“Sunyi sungguh kampung ini...
orang yang di sana,
sudah tak mau bertemu
orang yang di sini.”
Si budak yang selalu mengekori kami,
akan segera menokok cakap si tua:
“Moyang kepada moyang kepada moyang kita,
tentu tahu
- mengapa ini semua terjadi.”
“Ya... ya... ya...” kata kami.
dan kugagahi jua membaca puisi panjangmu
ReplyDeletekerana di situ ada hidupku
yg lelah dan lemah.....
dan ku telah terjelepuk terus ke bawah lalu memberi komen hatta tiada akan ketahuan isi tersirat arakian tersurat sekalipun akan aku gagahi juga komenku di sini walaupun diundang tiada lagi akan tetapi tamatlah kisah komen dariku buat masa ini yang sungguh merapu dan merepek lagi baik makan kerepek...
ReplyDelete